Diagnosa Ucapan
==============
Salah satu sumber musibah yang seringkali tidak disadari adalah Ucapan kita sendiri.
Hingga Nabi pun mengingatkan kita untuk menjaganya.
Dari lisan terlontar kalimat yang kita anggap ringan, tetapi mungkin berat perhitungannya dihadapan Alloh. Kita anggap sepele namun bisa mendatangkan Ridho Alloh. Dan kita anggap kalimat tidak berarti tetapi menyebabkan turunnya Murka Alloh atas diri kita.
Nabi meletakkan jaminan keselamatan diatas keselamatan Lisan. Siapa yang menjaganya maka Nabi menjaminnya akan selamat.
Ada apa dengan lisan ini?
“Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)
Terang benderang sabda Nabi diatas. Lisan bisa mengantarkan pada syurga.
Dan sebaliknya, lisan juga bisa menjerumuskan pada neraka.
Lisan adalah salah satu pintu syetan.
Mari kita simak ayat ini.
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas sebagai berikut :
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw, agar memerintahkan kepada hamba-hamba Allah yang beriman, hendaklah mereka dalam khotbah dan pembicaraannya mengucapkan kata-kata yang terbaik dan kalimat yang menyenangkan. Karena sesungguhnya jika mereka tidak melakukan hal mi, tentulah setan akan menimbulkan permusuhan di antara mereka dengan membakar emosi mereka, sehingga terjadilah pertengkaran dan peperangan serta keburukan.
Disinilah syetan bekerja dan memanfaatkannya untuk menghancurkan diri kita.
Hadits Abdullah bin Mas’ud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami’ Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Nah, dalam ranah terapi ruqyah, apa kaitan antara tema menjaga lisan ini dengan Sakit, musibah dan gangguan?
Mari fokus kita amati dari sisi terapi ruqyah.
Nash nash diatas telah menunjukkan dengan tegas salah satu penyebab masalah adalah ketidakmampuan menjaga lisan.
Masalah ini tidak hanya terkait perselisihan, tetapi juga terkait apa apa yang akan menimpa diri kita di kemudian hari.
Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Atau
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
"Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.”_ (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Penjelasan senada dengan kalimat hadits diatas, disampaikan oleh Ibnul Qayyim _rahimahullah.
وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Apabila seseorang melihat orang yang terkena musibah, kemudian ia mengucapkan:
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً
Segala puji bagi Allâh yang menyelamatkan aku dari musibah yang Allâh timpakan kepadamu. Dan Allâh telah memberi keutamaan kepadaku melebihi orang banyak.’
Maka musibah itu tidak akan menimpa dia.”(Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3432) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 602).
Hadits dan penjelasan diatas menggambarkan bahwa salah satu sumber musibah yang terjadi pada diri kita hari ini adalah ucapan buruk, merendahkan, dan menghina keburukan orang lain.
Bagaimana cara diagnosanya jika dibawa dalam ranah terapi??
Jika saat ini kita susah menjalankan sholat, coba tengok ke masa lalu, apakah kita pernah mencela, meremehkan (dg ujub dan takabbur) saat melihat orang lain belum sholat?
Saat ini anak anak kita mungkin sering bikin masalah ? Coba menoleh ke belakang, mari kita lihat ucapan dan sikap kita pada anak tetangga yang nakal dan susah diatur. Apakah saat itu terucap hinaan dam cemoohan?
Hinaan dengan kesombongan itulah yang membuat kita terjebak di kesalahan dan masalah yang sama.
Dahulu, mungkin kita pernah mengalami konflik luar biasa, tanpa kita sadari ucapan ucapan laknat, sumpah serapah kita lontarkan pada orang tersebut. Kita tidak tahu bahwa dalam pandangan Alloh, mungkin justru dia yang benar. Maka ucapan laknat dan sumpah serapah itu melesat kembali pada diri kita, hingga muncul dalam bentuk musibah. Sebagaimana yang kita inginkan terjadi pada orang itu, diwaktu itu.
Atau
Saat kita melihat orang lain tertimpa musibah, kita lupa bersyukur pada Alloh yang telah membuat kita tidak mengalami musibah itu, menjaga hidup kita. Atau bahkan 'gembira' saat melihat orang lain terpuruk?
Maka mungkin dikemudian hari, musibah tersebut pun menghampiri hidup kita.
Jadi, dalam ranah terapi ruqyah, salah satu yang perlu kita telusuri adalah dikap hati, dan ucapan kita dimasa lalu.
Setelah itu, mari mentaubatinya, dan doakan semua orang dengan doa doa kebaikan.
Semoga Alloh angkat semua musibah dalam hidup kita.
In syaa Alloh demikian cara menterapinya.
Wallohua'lam
M. Nadhif Khalyani
RLC
==============
Salah satu sumber musibah yang seringkali tidak disadari adalah Ucapan kita sendiri.
Hingga Nabi pun mengingatkan kita untuk menjaganya.
Dari lisan terlontar kalimat yang kita anggap ringan, tetapi mungkin berat perhitungannya dihadapan Alloh. Kita anggap sepele namun bisa mendatangkan Ridho Alloh. Dan kita anggap kalimat tidak berarti tetapi menyebabkan turunnya Murka Alloh atas diri kita.
Nabi meletakkan jaminan keselamatan diatas keselamatan Lisan. Siapa yang menjaganya maka Nabi menjaminnya akan selamat.
Ada apa dengan lisan ini?
“Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)
Terang benderang sabda Nabi diatas. Lisan bisa mengantarkan pada syurga.
Dan sebaliknya, lisan juga bisa menjerumuskan pada neraka.
Lisan adalah salah satu pintu syetan.
Mari kita simak ayat ini.
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas sebagai berikut :
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw, agar memerintahkan kepada hamba-hamba Allah yang beriman, hendaklah mereka dalam khotbah dan pembicaraannya mengucapkan kata-kata yang terbaik dan kalimat yang menyenangkan. Karena sesungguhnya jika mereka tidak melakukan hal mi, tentulah setan akan menimbulkan permusuhan di antara mereka dengan membakar emosi mereka, sehingga terjadilah pertengkaran dan peperangan serta keburukan.
Disinilah syetan bekerja dan memanfaatkannya untuk menghancurkan diri kita.
Hadits Abdullah bin Mas’ud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami’ Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Nah, dalam ranah terapi ruqyah, apa kaitan antara tema menjaga lisan ini dengan Sakit, musibah dan gangguan?
Mari fokus kita amati dari sisi terapi ruqyah.
Nash nash diatas telah menunjukkan dengan tegas salah satu penyebab masalah adalah ketidakmampuan menjaga lisan.
Masalah ini tidak hanya terkait perselisihan, tetapi juga terkait apa apa yang akan menimpa diri kita di kemudian hari.
Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Atau
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
"Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.”_ (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Penjelasan senada dengan kalimat hadits diatas, disampaikan oleh Ibnul Qayyim _rahimahullah.
وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Apabila seseorang melihat orang yang terkena musibah, kemudian ia mengucapkan:
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً
Segala puji bagi Allâh yang menyelamatkan aku dari musibah yang Allâh timpakan kepadamu. Dan Allâh telah memberi keutamaan kepadaku melebihi orang banyak.’
Maka musibah itu tidak akan menimpa dia.”(Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3432) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 602).
Hadits dan penjelasan diatas menggambarkan bahwa salah satu sumber musibah yang terjadi pada diri kita hari ini adalah ucapan buruk, merendahkan, dan menghina keburukan orang lain.
Bagaimana cara diagnosanya jika dibawa dalam ranah terapi??
Jika saat ini kita susah menjalankan sholat, coba tengok ke masa lalu, apakah kita pernah mencela, meremehkan (dg ujub dan takabbur) saat melihat orang lain belum sholat?
Saat ini anak anak kita mungkin sering bikin masalah ? Coba menoleh ke belakang, mari kita lihat ucapan dan sikap kita pada anak tetangga yang nakal dan susah diatur. Apakah saat itu terucap hinaan dam cemoohan?
Hinaan dengan kesombongan itulah yang membuat kita terjebak di kesalahan dan masalah yang sama.
Dahulu, mungkin kita pernah mengalami konflik luar biasa, tanpa kita sadari ucapan ucapan laknat, sumpah serapah kita lontarkan pada orang tersebut. Kita tidak tahu bahwa dalam pandangan Alloh, mungkin justru dia yang benar. Maka ucapan laknat dan sumpah serapah itu melesat kembali pada diri kita, hingga muncul dalam bentuk musibah. Sebagaimana yang kita inginkan terjadi pada orang itu, diwaktu itu.
Atau
Saat kita melihat orang lain tertimpa musibah, kita lupa bersyukur pada Alloh yang telah membuat kita tidak mengalami musibah itu, menjaga hidup kita. Atau bahkan 'gembira' saat melihat orang lain terpuruk?
Maka mungkin dikemudian hari, musibah tersebut pun menghampiri hidup kita.
Jadi, dalam ranah terapi ruqyah, salah satu yang perlu kita telusuri adalah dikap hati, dan ucapan kita dimasa lalu.
Setelah itu, mari mentaubatinya, dan doakan semua orang dengan doa doa kebaikan.
Semoga Alloh angkat semua musibah dalam hidup kita.
In syaa Alloh demikian cara menterapinya.
Wallohua'lam
M. Nadhif Khalyani
RLC
Tags
PSIKOTERAPI RUQYAH